6 keadaan dibolehkan menyebutkan aib seseorang

6 keadaan dibolehkan menyebutkan aib seseorang

hukum asalnya menggibah atau mengorek aib saudara muslim itu haram dibongkar/diceritakan dan termasuk dosa besar, ini adalah kezholiman kepada saudara muslim namun bisa berubah menjadi boleh  pada kondisi darurat jika ada tujuan yang dibenarkan dalam syariat islam, layaknya babi hukum asalnya haram dimakan namun dibolehkan dikonsumsi ketika kondisi darurat, tapi jangan makan sampai kenyang. sebagaimana sebuah kaedah menyebutkan

الضرورات تقدر بقدرها
darurat itu diukur/ditakar seperlunya saja (tidak boleh berlebihan)

begitu pula qibah terkadang dibolehkan dalam kondisi darurat namun seperlunya (tidak boleh berlebihan/ditambah-tambah)

jadi, boleh menggibah seseorang jika ada maslahat di dalamnya, seperti abang menggibah tentang adiknya yang sudah kelewatan melakukan ini itu kepada ayahnya. ini dibolehkan dengan syarat tujuan kita bukan untuk mengolok-olok dia/merendahkan dia tapi tujuannya kebaikan dan mencari solusi agar dia sadar dan memperbaiki kesalahannya tapi hendaklah sesuai kadarnya (jangan berlebih-lebihan)

sebagaimana Imam An-Nawawi rahimahullah katakan dibolehkan qibah yang ada didalamnya tujuan syariat, seperti :

1. perbuatan zalim maka dibolehkan bagi orang yang terzalimi haknya untuk mengadukan kepada penguasa, hakim dan selain keduanya yang mana dia memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk membuat kapok/insaf pelaku yang menzoliminya, seperti ungkapan : fulan telah menzolimiku atau dia telah melakukan kezaliman begini-begitu kepadaku. (namanya harus disebut agar diketahui orangnya)

contoh lain : fulan mendatangi pak polisi lalu mengatakan "pak polisi seseorang mencuri barang saya", pak polisi balik nanya, "siapa ?" maka sebutkan namanya, jangan pula mengatakan "waduh jangan pak polisi, saya takut qibah"

2. meminta tolong untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada jalan yang lurus seperti berkata kepada seseorang yang diharapkan kemampuannya (berupa nasehat/tindakan tegas) kepada fulan yang melakukan begini begitu untuk memperingatinya tentang kemungkarannya dan sebagainya.

contoh lain : melaporkan seseorang ke polisi atau pihak tertentu tentang fulan yang menyebar narkoba, melakukan tindak kekerasan dll. ini dibolehkan bahkan menjadi wajib karna demi maslahat, karna jika tidak, maka akan semakin parah kerusakannya.

3. meminta fatwa seperti ungkapan seseorang yang meminta fatwa "si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku, dia telah menzolimiku dan bagaimana caranya agar aku bisa terlepas dari kezolimannya dan sebagainya". maka ini dibolehkan dikarenakan adanya kebutuhan dan meminta solusi yang lebih baik.

seperti berkata tentang suami atau ayah atau anak "si fulan lakukan ini itu maka apa hukumnya ?", maka penyebutan nama seseorang dibolehkan sebagaimana terdapat pada riwayat hadist hindun tentang perkataannya mengenai suaminya abu sofyan bahwasanya dia pria yang kikir/pelit (nafkah yang dia berikan tidak cukup untuk saya dan anakku, kecuali saya ambil uangnya dan dia tidak tahu, nabi mengatakan ambillah yang cukup untukmu dan anak-anakmu sewajarnya)

abu sofyan mertuanya nabi shallalahu alahi wa salam karena romlah ummu habibah istrinya rasulullah shallallahu alahi wa salam.

jadi seorang istri boleh mengambil uang suami karena uang makan ndak cukup, uang sekolah, uang berobat dll namun jangan mengambil uang suami berlebih-lebihan untuk foya-foya, beli barang yang tidak perlu dan sebagainya karna itu sama saja dengan maling.

jadi dibolehkan qibah untuk meminta fatwa namun menyembunyikan nama lebih baik dengan mengatakan "ada suami istri begini begitu padahal dia sendiri mengalami atau seseorang yang dia kenali" tujuannya untuk menjaga kehormatan pasangannya atau si fulan akan tetapi jika sulit maka dibolehkan menyebutkan nama agar permasalahan menjadi jelas.

begitu pula seharusnya seorang ustadz ketika ada yang meminta fatwa dan tahu tentang si fulan yang diceritakan permasalahannya untuk tidak ember mulutnya untuk memperkeruh keadaan.

nasehat terutama untuk ibu-ibu yang terkadang mulutnya seperti ember, bangga tahu masalah orang lain dan diqibah kesana-kemari.

4. memperingatkan manusia tentang keburukan/adanya cela seperti yang dilakukan ulama hadist dalam hal jarh wa ta'dil menjelaskan kekurangan pada perawi untuk membedakan mana hadist shahih dan tidak, tujuannya untuk menjaga keshahihan hadist nabi (dengan mengatakan periwayat lemah hafalan, pendusta, rusak hafalan di akhir hayatnya dll), saksi, pengarang, membantah kesesatan ahlul bidah dengan menjelaskan kesesatannya begini dan begitu dan selainnya maka dibolehkan berdasarkan ijma ulama bahkan menjadi wajib untuk membentengi syariat.

dan diantaranya menyampaikan aibnya seseorang ketika musyawarah kepada orang yang ada hubungan dengannya atau kepada kerabatnya.

dan diantaranya jika kamu melihat seseorang membeli sesuatu yang ada kekurangannya maka nasehati pembeli bukan bertujuan merugikan dan pengrusakan.

dan diantaranya jika kamu melihat seseorang yang condong melakukan kepada perbuatan fasik atau bidah maka hendaklah dia menjelaskan kepadanya dengan ilmu dan menakut-nakutinya dampak buruk dari perbuatannya maka hendaklah kamu menasehatinya mengenai keadaan kondisinya bertujuan memberi nasehat.

contoh lain : tentang kisah fatimah binti qais radhiallahu anha yang dilamar 2 orang (muawiyah dan abul jahm), dia meminta masukan dari nabi shallallahu alahi wa salam tentang 2 calon tersebut, lalu nabi memperingatkan dengan mengatakan bahwa muawiyah pria yang miskin tidak punya harta dan adapun abul jahm dia selalu meletakkan tongkat di punggungnya (suka pukul istri), nabi melarang menikah dengan keduanya dan menyarankan menikah dengan usamah bin zaid radhiallahu anhu.

ini termasuk gibah, nabi menyebutkan aib muawiyah dan abul jahm dalam rangka maslahat dengan memperingatkan aibnya lalu menyarankan nikah dengan usamah bin zaid padahal beliau kulitnya hitam yang akhirnya menikah dan bahagia setelah menjalankan wasiat nabi shallallahu alahi wa salam maka ini dibolehkan.

menggibah tujuannya untuk maslahat seseorang dibolehkan apalagi untuk kemaslahatan umat maka lebih dibolehkan, hal ini dilakukan para ulama rabbani dengan cara ilmiah dan beradab, jauh dari cacian dan makian untuk membentengi umat islam dari kerusakan aqidah, kejahatan musuh islam dll.

seorang ustadz hendaklah memperbaiki niat dalam memperbaiki kesalahan apakah untuk merendahkan atau menjelaskan kesalahan dan harus siap menghadapi tuduhan bermacam-macam celaan manusia yang sejalan dengan si fulan karna ini wajib dijelaskan kepada umat namun jika seorang ustadz memilih cara aman dengan mendiamkan kesalahan fulan maka dia siap-siap mempertanggung jawabkan kesalahannya dihadapan Allah azza wa jalla karena membiarkan kesalahan padahal mampu dan berkompeten dalam meluruskan atau paling parahnya malah membenarkan kesalahan. nauzubillah

seperti perkataan imam ahmad "jika saya dan kamu diam maka bagaimana orang bodoh mengetahui kesalahan ?"

kalau semuanya diam melihat kesalahan, yang melakukan bidah di diamkan, melakukan zikir sambil joget-joget tidak ada yang membantah, yang berbicara aqidah ngawur tidak ada yang membantah lantas bagaimana masyarakat jadinya ? maka disini butuh peran ulama rabbani yang menjelaskan dengan adab, jika ada manusia yang punya penyakit hati mencela maka biarkan saja, tidak masalah, jangan ambil pusing, pikirkan urusan anda dengan Allah subhanahu wa ta'ala, tugas anda hanya menjelaskan kebenaran agar orang awam dan orang yang mencela anda tahu bahwa itu adalah kesalahan walaupun harus di maki-maki tidaklah masalah.

5. membicarakan orang yang terang-terangan melakukan kefasikan, kemaksiatan dan kebidahan tanpa malu dan merasa bangga untuk dijauhi agar orang-orang tidak mengikutinya atau untuk disampaikan kepada orang yang punya kemampuan agar menasehatinya seperti Peminum khamar/tuak, main tiktok/instageam menampakkan auratnya, merampas hak manusia, mengambil alih suatu perkara secara bathil dll, maka dibolehkan menceritakan perbuatan dosanya tersebut yang tampak dan tidak boleh dikorek-korek kecuali ada alasan yang dibenarkan.

6. tanda pengenal yang khas pada diri seseorang untuk mudah dipahami orang lain jika ditanya karna ada keperluan yang diharuskan seperti mengatakan dia ada rabun mata, pincang, matanya biru, pendek, buta, tuli dll. namun diharamkan jika tujuannya untuk merendahkannya dan lebih diutamakan tidak menyebutkan kekurangannya sebisa mungkin.

translate by atri yuanda bin mahyudin elpariamany dan pembahasan dilengkapi dengan bahasa sendiri

source hadithportal.com dan https://youtu.be/C600KyIgF4U

teks asli perkataan imam annawawi
قال النووي لكن تباح الغيبة لغرض شرعي وذلك لستة أسباب

أحدها التظلم فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما ممن له ولاية أو قدرة على إنصافه من ظالمه فيقول ظلمني فلان أو فعل بي كذا

الثاني الاستعانة على تغيير المنكر ورد العاصي إلى الصواب فيقول لمن يرجو قدرته فلان يعمل كذا فازجره عنه ونحو ذلك

الثالث الاستفتاء بأن يقول للمفتي ظلمني فلان أو أبي أو أخي أو زوجي فهل له ذلك وما طريقي للخلاص منه ودفع ظلمه عني ونحو ذلك فهذا جائز للحاجة والأجود أن يقول زوج أو والد أو ولد يفعل كذا وكذا فما الحكم ومع ذلك فالتعيين جائز لحديث هند وقولها عن أبي سفيان إنه رجل شحيح

الرابع تحذير المسلمين من الشر وذلك من وجوه منها تجريح المجروحين من الرواة والشهود والمصنفين وذلك جائز بالإجماع بل واجب صونا للشريعة ومنها الإخبار بعيبه عند المشاورة في مواصلته أو مصاهرته ومنها إذا رأيت من يشتري شيئا معيبا فتنصح المشتري نصيحة لا بقصد الإيذاء والإفساد ومنها إذا رأيت متفقها يتردد إلى فساق أو مبتدع يأخذ عنه علما وخفت عليه ضرره فعليك نصحه ببيان حاله قاصدا النصيحة

الخامس أن يكون مجاهرا بفسقه أو بدعته كالخمر ومصادرة الناس وتولي الأمور الباطلة فيجوز ذكره بما يجهر به ولا يجوز بغيره إلا بسبب آخر

السادس التعريف فإذا كان معروفا بلقب كالأعمش والأعرج والأزرق والقصير والأعمى والأقطع ونحوها جاز تعريفه به ويحرم ذكره به تنقيصا ولو أمكن التعريف بغيره كان أولى اهـ

Tidak ada komentar: